Pernahkah terlintas dalam pikiran bahwa di balik kain dan busana batik yang kita pakai, ada suatu mata rantai kehidupan yang penuh kesetiaan dan dedikasi dari para pembuatnya? Dalam menyelesaikan satu kain batik tulis, diperlukan proses berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai dua tahun. Setiap titik yang ditorehkan, dan setiap warna yang ditambahkan semuanya diresapi dengan penuh kehati-hatian, energi yang menempel pada kain-kain ini pun memiliki rasa.
Terinspirasi dari kecintaan Nia Dinata terhadap batik, serta visinya yang takkan pernah membiarkan kecintaan masyarakat Indonesia pada batik memudar, Nia dan Kalyana Shira Foundation yang konsisten dengan komitmennya dalam memproduksi film dokumenter, sepakat untuk membuat film dokumenter tentang Batik yang diberi judul “Batik, Our Love Story”. Bagi yang mengaku pecinta Batik, rasa cinta dan bangga menggunakannya saja tidaklah cukup. Pernahkah mendalami sejarahnya, proses pembuatannya, serta kekayaan filosofi motif-motifnya? Dengan membuat film dokumenter, Nia Dinata sekaligus memperdalam pengetahuan. Film yang diproduseri Vivian Idris bersama tim riset Ucu Agustin, mereka melakukan pengambilan gambar di Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Lasem dan Madura.
Keterlibatan Jimmy Hendrick Afaar dalam menggeluti dunia batik awalnya karena hatinya tergerak pada banyak orang yang masih menganggap suku Papua sebagai salah satu suku primitif semata. Masih terbelakang di belahan dunia karena banyak warga yang menggunakan koteka. Melalui batik Port Numbay, Jimmy ingin membuktikan Papua juga memiliki style (gaya) dan tren dalam berbusana. Keahlian membatik yang sudah dia tularkan itu juga menghadirkan lapangan pekerjaan baru, terutama bagi para ibu. Mereka tidak perlu lagi memesan batik papua ke Pulau Jawa. Antusiasme masyarakat Papua belajar membatik memberinya kebahagiaan tersendiri.
Pada saat para pembatik lain berlomba-lomba menggunakan bahan pewarna kimia atau sintetis dengan alasan mudah didapat dan harganya jauh lebih murah. Tjok Gede Agung Kusuma Yudha Pemayun lebih memilih untuk tetap mempertahankan pewarna alam sebagai bahan dasar batiknya. Meskipun untuk mendapatkan bahan-bahan tersebut tidaklah mudah. Warna alam yang menjadi andalan Tjok berasal dari tanaman indigo yaitu satu-satunya jenis tanaman penghasil warna biru. Hanya tumbuh di daerah yang beriklim sedang, tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Di Pejeng sendiri indigo memang ditanam oleh masyarakat setempat, namun tanaman ini hanya akan tumbuh subur pada kisaran bulan Juni – Desember. Tjok sendiri menanam daun indigo di kebunnya.
Tjok menyaksikan sendiri kenyataan menyedihkan dimana banyak warga desa yang menganggur karena terkena pemutusan hubungan kerja akibat lesunya pariwisata Bali. Ibu-ibu rumah tangga yang selama ini diletakkan sebagai penyokong urusan domestik menjadi sasaran Tjok. Waktu luang kaum ibu usai mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dimanfaatkan untuk belajar membatik. Untuk pekerja baru, biasanya Tjok memberikan training selama kurang lebih dua minggu sebelum ia mulai memegang canting. Pengrajin batik di studio Batik Tjok kini berjumlah 35-40 orang.
Sedangkan Piyu mengaku kendaraan roda empat maha karya tersebut merupakan sebuah bentuk apresiasi tinggi terhadp seni dan kebudayaan Indonesia. Carmanita yang merancang pun punya apresiasi seni yang tinggi, begitu pula saya yang sangat menjunjung tinggi seni, Jadi saya pikir mobil ini bisa jadi suatu alat untuk lebih memperkenalkan batik kepada khalayak luas," katanya.Kecintaan terhadap budaya bangsa serta nilai ‘heritage’ lah yang kemudian memantapkannya untuk membeli Mercedes-Benz C 250 CGI bermotif Batik tersrbut.
[salute to www.kickandy.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar